Ini adalah cerita Ma’had angkatan 30 yang sungguh unik. Cerita ini disajikan semata mengenang beragam rupa murid Maulana al-Syaikh yang punya beragam kelebihan. Ditahun 1990-an itu ada dua murid MDQH di angkatan itu yang masuk MDQH tanpa menggunakan ijazah. Yang pertama adalah Zainuddin dan kedua Khairul Atho’. Zainuddin tidak pernah sekolah SD/MI apalagi SMP/MTs ataupun SMA/MA jadi sama sekali tidak punya ijazah.
Atho’ pernah punya ijazah sampai Aliyah namun dibakar oleh bapaknya. Ijazah tersebut dibakar karena Atho’ pernah kedapatan membawa pulang penghargaan lomba tingkat kecamatan ke rumahnya. Sertifikat lomba itu dinilai bapaknya sebagai celah untuk sombong dan takabbur. Jadilah kertas berstempel itu berubah menjadi abu dan debu jalanan Gresik kala itu. Bagi Udin, dalam hidupnya sama sekali dia tidak mengenal ijazah dan sertifikat penghargaan.
Kali ini akan diceritakan tentang Zainudin kecil yang menunaikan khidmatnya di Ummi Rahmatullah dan Maulana al-Syaikh. Jangan tanya dahulu tentang Khairul Atho’ lelaki dari kampung Maulana Malik Ibrahim tersebut. Biarlah Kiyai kharismatik itu kita kubur saja sementara kisahnya. Mari kita belajar dari lelaki dari hutan pegunungan di kaki Rinjani yang menghabiskan hidupnya untuk menjalani titah Maulana gurunya.
Zainudin lahir dengan postur mungil dan tumbuh sebagai lelaki berperawakan kecil. Lahir dari keluarga yang tinggal di hutan membuat ia akrab dengan kehidupan hutan dan menikmati alam kebersahajaan dalam kemiskinan yang menghimpit. Lahan kebun kopi yang hanya beberapa meter tidak mampu menopang ekonomi keluarga lelaki yang shalih itu. Langkah kecilnya menyeberang sungai mencari ikan kecil, kebiasaan memanjat pohon enau dilereng pusuk pas dan menyadap nira adalah pelajarannya. Menyabit rumput dan menggembala sapi adalah latihannya. Atau berlari mengejar ayam hutan, berburu burung tengkoah disungai pinggir hutan adalah keseharian lelaki sederhana itu.
Ketika umur sekolah, hasratnya belajar seperti layaknya kawan-kawannya dipinggir jalanan menuju Lombok Utara itu mulai tumbuh. Entah kemudian, tidak ada penjelasan mengapa kemudian dia tidak memilih untuk sekolah ke SD menuruni bukit-bukit itu seperti kawan-kawannya. Ia memilih mengaji di seorang ustaz di kawasan Gunung Sari. Entah pagi atau sore di tahun-tahun 1979-an itu setelah didoa ibunya, ia mengayuh hasratnya belajar ke pondok. Ia berjalan kaki tanpa alas kaki dalam keyakinan yang teguh bahwa SD bukanlah bagiannya di masa sekolah itu. Pilihan Allah telah jatuh padanya, yakni belajar agama seutuhnya. Mengaji. Mondok mengaji adalah kudrat-iradat-Nya yang dijalaninya dengan bismillah.
Ia belajar sepenuh hati kitab masa’ilah, perukunan, akhlaq lil banin, quran, nahwu, sharf, dan berbagai ilmu lainnya dalam tahun-tahun yang tidak dihitungnya. Sampailah suatu hari sang guru mursyidnya bercerita sekaligus memberi arahan dan nasihat; kalau kamu hafal quran tiga juz kamu bisa masuk Ma’had. Begitu tutur ustaznya tersebut. Arahan untuk masuk Ma’had tidak pernah diimpikan sama sekali. Ia tahu diri, dari mana Allah akan mengirim takdirnya lagi walhal ia sama sekali tidak pernah sekolah. Lalu dijalaninya saja ikhtiar menghafal Quran disela-sela pengajiannya di pondok itu.
Sampai datang suatu hari yang mengubah takdirnya. Sang ustaz memintanya untuk menuju arah Kayangan Gunung Sari. “Din, kamu sebaiknya berangkat mengaji kepada TGH. Anwar, MA. Beliau baru saja pulang dari Mesir. Ambil barakah pertama”. Demikian pesan gurunya tersebut. Itu sekitar tahun 1990-an. Ia pun pulang menemui ibunya di rumah sederhana di lereng-lereng bukit berhawa sejuk itu. Angin hutan masih lagi bersih. Dedaunan masih segar menyambut pemuda shalih itu pulang menemui ibunya.
“Inaq suru’ne tiang ngaji aning tuan guru Anwar”.
“Aok ke lekak wah anakku”.
Sebagai murid pertama dan paling tekun, ia dikenal baik oleh gurunya tersebut. Modal mengaji sebelumnya membuat ia memiliki kelebihan dimata gurunya. Sampai suatu waktu TGH. Anwar bertanya kepada anak-anak muridnya.
“Siapa yang mau sekolah ke Ma’had”
Dengan sigap Udin mengacungkan tangan sambil berkata dalam bahasa kampung apa adanya, “aku”
Sang guru tahu kemampuan Udin tetapi juga dia tahu Udin tidak berijazah.
Udin juga tahu diri tidak berijazah namun dia masih menyimpan janji hati gurunya sebelumnya bahwa siapa yang hafal Quran tiga juz insya Allah akan bisa masuk Ma’had.
Udin mantap keyakinannya dengan prasyarat tiga juz itu meskipun juga berhadapan dengan keraguan akibat tidak dimilikinya ijazah kertas mengkilat tersebut. Hingga suatu hari sang Tuan Guru membawa muridnya ke Pancor. Murid berkulit putih berpostur mungil dan bersuara nyaring itu mengikutinya menuju idarah atau kantor MDQH. Di idarah telah ada TGH. Lalu Anas Hasyri, wakil Amid (wakil Direktur) saat itu.
“Ustaz, tiang bawa anak tiang mau masuk Ma’had.”
“Mbe iye”
“No le duah”
“Suruk tame”
“Tuan Guru Anas berkomentar, “Kekocetne”
“Mmmm”
“Mbe ijzahn”
“Ndarak”
“Mmm...ndekn bau lamun ndrak ijazah”
“Anak ini memang ndak pernah sekolah, tapi silak diuji aja”
“Apa ujiannya.”
“Ya Quran, hadis arbain, akhlaq lilbanin, dan jurumiyah”
Setelah melalui ujian keilmuan itu, Udin dinyatakan diterima sebagai thalib Ma’had. Di ma’had, Udin adalah manusia unik. Bukan hanya karena postur kecil dan suara merdu dan relatif mendayu. Unik karena ia dikenal dekat di kalangan punggawa kelas sebagai murid yang amat telaten. Murid aneh itu adalah murid yang rajin masuk kampus, rajin belajar dan salah satu keutamaannya adalah rajin bertanya kepada sesama kawan.
Ia kerap mengganggu kawan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam upaya kerasnya menggali hikmah dari lautan huruf dalam kitab-kitab itu. Udin tak kenal lelah apalagi menyerah membongkar ketidakpahamannya dalam bacaan kitab tersebut. Udin bukanlah tipe laki-laki yang malu bertanya sesat dijalan atau malu-maluin karena bertanya terus. Namun Udin tetaplah udin yang biasa saja. Biasa saja karena pengeras suara di ujung Aula saat Zikral Hauliyah ke-30 itu tidak menyebut namanya menjadi juara. Udin pun pulang dan kabarnya pun hilang.
Dua puluh tahun kemudian, Udin ditemui oleh salah satu sahabatnya. Sang sahabat ini pun bercerita tentang haru persuaannya dengan gaya tutur saya:
Suatu hari saya menggeber motor menuju arah Senggigi, terus menuju utara kearah Pelabuhan Telok Kodek jelang Pelabuhan Penyeberangan Bangsal. Saya menjumpai Tuan Guru Muda yang juga kawan sekelas angkatan 30. Tuan Guru muda yang meniti perjuangannya membangun pondok dengan kekuatan wirid dan doa. Hari itu hari Jumat, sebelum pukul sebelas motor meluncur dari rumah kawan itu menuju rumah kawan seorang pejabat Kabupaten. Rumahnya dihamparan dataran hijau dipinggir jalan di sebuah kampung bernama Menggala. Di sisi pondok pesantrennya saya dijamu makan siang dan disudahi dengan doa perjuangan.
Saya berusaha untuk dapat jumatan di masjid pusuk dengan harapan agar ada sisi rekreatif sambil mempelajari suasana ibadah di masjid di pinggir hutan itu. Dilereng itu terdapat masjid sederhana dan jelang azan itu telah hadir sekitar 30-an orang lelaki. Sebelum shalat tahiyat masjid, saya melihat seseorang yang saya kenal dahulu yang tak lain adalah Zainudin (panggil saja Udin). Selepas salam ia memberi isyarat selamat berjumpa dengan isyarat mata gembira dan bibirnya menyebut satu nama.
Sejenak terdengar pengumuman dari pengeras suara yang mengumumkan siapa petugas jumat saat itu.
Saya menunggu apakah Udin yang akan bertugas, ternyata bukan dia yang disebut namanya. Selepas azan itu rupanya sang petugas tidak siap dan meminta Zainuddin menjadi khatib. Persis ketika ia melangkah maju, saya melihat langkah itu persis langkah gontai lunglainya menuju Ma’had dahulu. Kostumnya juga persis seperti ma’had dahulu; berbaju koko bersih putih yang agak kedodoran. Dalemannya bertuliskan “milan keramik”. Hampir air mata saya menitik membayangkan masa Ma’had yang bersahaja itu. Saya yakin daleman itu bukan dibelinya di mall atau di butik, juga bukan di toko fashion. Daleman itu pasti pemberian orang yang berkenan. Mungkin juga daleman itu hadiah. Wallahu a’lam.
Saya menunggu detik ia memulai khutbahnya, alhamdulillah lancar. Mukaddimah dan ayat dibaca fasih dan seterusnya. Yang agak mencengangkan khutbah pertama begitu cepat usai dan dilanjutkan dengan khutbah kedua. Khutbah kedua jua selesai segera. Saya tidak menemukan kata-kata berbahasa Indonesia. Ia juga yang mengimami shalat dan saya terganggu juga dengan tulisan milan keramik yang bersejarah itu.
Saya harus menunggu lama selepas salam itu. Rupanya wiridnya tertib sampai doa dan jamaah khusuk mengikutinya. Dari pandangan yang sekilas itu saya yakin bahwa Udin memang diterima oleh jamaah di kawasan pusuk atau puncak itu. Aku ingin membuktikan apakah jamaah berebut keluar selepas salam atau tidak. Ternyata mereka tuntas sampai doa selesai dan itu salah satu pertanda bahwa sang pemimpinnya telah berhasil memimpin jamaahnya.
Saya juga harus menunggu antrian salaman yang menjadi penyejuk jiwa bahwa tradisi salaman telah menjadi milik kampung dibukit-bukit diarah barat Rinjani itu. Dirangkulnya erat tubuh saya dan menyapa dalam sapa yang hangat saat salaman itu. Saya mengiayakan ketika ia mengajak saya ke rumahnya.
“Ustaz mbe taok balende”
“Niki rapet”
“Ooh nggih mbe-mbe taokne tiang ketok, kadu mootor atau”
“Motor wah kadu, arak sekilo langan tene”
“Plungguh jalan kaki kalau jumatan”
“Nggih”
“Mangkin tiang dianter pak kadus niki”
Cesss, darah dijantung saya berdesir, berarti setiap kali ke masjid ia lebih sering berjalan kaki dengan jarak tempuh satu kilometer itu. Setelah pendakian lereng itu sampailah saya di rumahnya, tepatnya gubuknya. Gubuk sederhana ini terbuat dari bambu yang dianyam kasar dan sebagian potongan kayu-kayu tanpa cat. Lantainya dari papan dan sebagian dari bambu layaknya rumah panggung. Ukurannya kurang lebih 4x3 meter. Saya dijamu diteras yang beratapkan bekas spanduk iklan rokok dipaku memanjang menjadi sekadar tempat berteduh. Saya menegakkan batin saya dengan banyak bertanya bahkan dengan tanya yang kurang penting untuk sekadar menahan rasa sedih-haru yang berkecamuk.
Di bawah tempat kami duduk berseliweran ayam dalam jumlah banyak sekitar 25 ekor. Ini artinya, rumah susun itu sekaligus kandang ayam. Luas lahannya mungkin hanya sepertiga are berbentuk segitiga. Tanah itu persis memangkas tebing sehingga mengikuti bentuk tebing itu. Dalam aroma lapar yang menyergap itu saya disuguhkan kopi gunung racikan istrinya dengan panganan ubi jalar hutan berwarna kuning. Dalam jamuan makan siang dengan nasi ubi itu saya menyaksikan kebersahajaan yang sempurna itu. Inilah pelajaran pertama dari Ustaz shalih itu.
Dalam sua yang takterduga itu ia bertanya hal yang wajar dengan tanya yang wajar pula. Cara bertanya yang datar itu juga menandakan kebersahajaan. Takterbersit dalam tanya itu sikap merendah atau rendah diri ketika tahu kawan yang telah menjadi ini itu dalam kondisi dia masih bertahan di bukit-bukit sukacita digubuknya itu. Dengan nada tertahan saya bertanya apa saja aktivitasnya dan hampir selalu jawabannya diawali atau diakhiri dengan kata alhamdulilllah.
“Alhamdulillah tiang ngajarang”.
“Mbe taokde ngajarang?”
“Ite wah, ndek tiang nagajarang lek madrasah”
“Apa ajarangde?”
“Apa jak uah, perukunan, masailah, wudlu, carene sembahyang, qur’an, akhlak, fiqh, hadits”
“Loh selapukne?”
“Mbe-mbene wah. Bedose po tiang mun ndek tiang ajahang ie”
Ssssseeepp, darah di jantung berdesir lagi ketika dia menyatakan bahwa mengajar adalah upaya menggugurkan dosa diri dan masyarakat kampungnya. Ia sediakan dirinya dengan keyakinan bahwa mengajarnya itu adalah semata takut berdosa karena tidak menunaikan kewajibannya akibat pernah mengaji dahulu dan hasil mengajinya itu harus diajarkannya kepada masyarakat kampungnya.
“
Mbe taokne ngaji”, saya berusaha bertanya sekenanya lagi.
“
Lek ite wah ganti-gantian. Mun tiang lek gawah atas, ito so aningne mete tiang. Ini lek julu ni alhamdulillah bantuan bedah rumah. Ie wah taokne pade ngaji endah”.
Di depan rumah gubuk itu ada bangunan bertembok batako dengan ukuran 2,5x3 meter bantuan rumah bagi keluarga kurang beruntung. Anehnya ia tidak menempati rumah bantuan itu namun memilih tinggal di gubuknya dan bangunan itu menjadi tempat belajar murid-murid dari kawasan hutan tersebut.
“Sai si ktek ngaji”, tanya saya berpagut gundah.
“Eee..nine mame, blek kodek, toak kanak ngaji, ndek tiang tao ngajarang si lain, mbe jak wah”.
“Ape gawe’de si lain”, tanya saya seadanya.
Ngarat sampi, arak sampin tiang sepasang.
Ssssseeekkk. Dada saya terasa sesak mendengar tutur lelaki yang hampir seluruh jemarinya telah berubah laksana jempol akibat gigih bekerja sebagai peladang dan peternak itu. Lelaki yang telah beruban itu menjalani takdirnya sebagai petani, peladang sekaligus sebagai guru dengan ruang belajar muridnya terbuka sepanjang kawasan hutan itu. Tidak ada tempat khusus, kecuali bangunan bantuan bedah rumah itu. Ia tidak pernah memilih masjid untuk mengajar, mushalla, ataupun bangunan khusus. Ia bahkan mendatangi satu persatu muridnya jika ada yang tidak hadir, dalam kondisi medan pegunungan.
Dalam kebiasaan turun gunung naik gunung itu, dinas kehutanan menawarkan untuk menjadi mandor atau jagawana hutan. Tawaran itu diterimanya serta dijalaninya hampir enam bulan. Hingga suatu hari takdir menuntunnya ke garis lurus yang dalam keyakinan yang sama sekali tak goyah. Saat ke kantor kehutanan itu dia menyaksikan tumpukan kayu bakar, kayu balok yang diprediksinya sebagai kayu hasil sitaan. Ia membayangkan kayu-kayu itu dipikul lelaki kampungnya untuk biaya hidup anak istrinya lalu ditangkap petugas kehutanan dan menjadi barang sitaan. Renungan pembelaan itu menjadi kesedihannya di satu sisi dan di sisi lain ia merasa berdosa telah memakan gaji hasil penjualan kayu sitaan itu.
Ia pun bergegas masuk ke kantor kehutanan itu dan hari itu juga ia meminta mundur dari jabatan yang telah memberinya uang bulanan yang rutin itu. Sang atasannya tidak mau menerima usulannya untuk mundur karena tidak ada alasan yang jelas. Di samping itu juga prestasinya sebagai jagawana di hutan kawasan produksi gaharu itu tergolong sukses. Inilah jagawana terbaik karena ia bukan menggunakan seragam untuk menakuti penduduk namun pengaruhnya yang membuat penduduk itu tunduk. Jelas dia adalah jagawana yang juga ustadz.
Saya bilang, “ustaz itu gajinya sudah jelas bukan dari hasil penjualan kayu sitaan. Langsung gajinya dari pemerintah”. Saya sedikit berceramah.
“Aro ngkeh ndek ie te gawek”, pungkasnya.
Ditinggalkannya gaji bulanan yang rutin itu, lalu ditanggalkannya baju jagawana itu dan ia melangkah mantap pulang dalam renungan hikmah. “aku tak mau menghidupi anak istriku dari barang subhat”.
Ia pun bercerita bagaimana ia mengajarkan masyarakatnya agar bisa membaca hizib. Minggu pertama hanya satu orang, minggu kedua tiga orang, minggu keempat lima orang sampai kemudian warga kampung seluruhnya antusias berhizib. Karena gairah berhizib itu pernah dalam satu malam mereka berhizib tujuh kali. Ia mengajak masyarakat pusuk berhizib satu-satu. Jika ada yang tidak hadir, saat itu juga segera ditemuinya dan ditanyakan mengapa mereka tidak hadir. Ada yang beralasan tidak bisa mengikuti karena ngaji saja belum bisa. Namun ia menuntunnya dengan sabar terutama orang tua dan anak muda.
“Kamu cukup duduk saja, hadir, itu sudah namanya berhizib”.
“Laguk ndek tiang tao muni”
“Angkak nggih, tiang ngajar side”.
Begitu seterusnya ditanganinya satu persatu murid dari semua kalangan umur itu.
Dalam cerita itu, dia sama sekali tidak pernah menyinggung tentang bangunan tempat ia mengajar, honor yang harus dibayarkan, biaya belajar mereka atau juga pakaian mereka. Sederhana saja. Mengajar dan mengajar.
“berdose tiang kalau tidak tiang ajar”, ulangnya sekali lagi.
Awalnya tidak satupun yang simpati kepadanya. Lima tahun dia sendiri menjalani keinginan membangun kampung itu dengan nafas agama dan telah menunjukkan hasilnya. Ia menjadi guru ngaji kepercayaan dan menjadi pimpinan yang “didengar” di kawasan perbatasan Lombok Barat itu.
Dalam jamuan cerita demi cerita itu saya iseng bertanya tentang ayam-ayam itu.
Iapun mulai bercerita dengan kisah tentang kebiasaannya membawakan kopi untuk Maulana. Tidak banyak sih, paling satu bungkus kecil katanya. Kebiasaan membawa kopi asli racikan ibunya itu membuat dia sering ziarah ke Maulana al-Syaikh dan membuat ia dikenal oleh keluarga Ummi Rahmatullah juga oleh Ummi Raihanun.
Suatu hari saat ziarah sambil menyerahkan bubuk kopi itu, ia ditanya oleh Maulana al-Syaikh
“Din melemeq jari ape ante”
“Mindah ninik, nunasang tiang jari napi”
“Ngne wah Din, ante meq jari jamak-jamak wah”
“Nggih ninik tunas doa”
Lalu Maulana mengambil uang dari sakunya dan memberikan Zainuddin selembar saja dengan nominal Rp.500. Ia pun menerima uang itu sambil berpikir sepanjang hari untuk apa uang lima ratus rupiah itu. Saya apakan uang ini, apa yang saya bisa beli dengan uang yang hanya lima ratus, pikirnya. Sambil merawat kepercayaan dan keyakinannya pada barakah, ia menimang uang lima ratus itu sambil terus dipikirnya untuk apa uang lima ratus itu. Dimasukkannya kedalam sakunya, dikeluarkannya lagi sambil diamatinya lamat-lamat uang itu.
Saat tamat itu, ia pun pulang dan berusaha mencari tambahan untuk uang barakah itu. Ia pun mendapatkan tambahan sebesar Rp.2.000. Dengan uang yang kini berjumlah Rp.2.500 itu ia membeli ayam untuk dipeliharanya. Ayam itulah yang berseliweran itu. Sambil menikmati gurihnya ubi jalar itu ia bercerita bahwa sepanjang tahun sejak pertama kali dibelinya ayamnya tidak pernah sakit. Ia sendiri heran dan tetangganya pun heran.
“Alhamdulillah Ndekne uah puyah manok tiang”, katanya
Saya iseng bertanya, “ndekne uah ilang manokde?”
“Kereng so ne”
“Pire angkune ilang?” tanya saya iseng.
“Laek sikte masi lek atas jak luek angkune telang. Kadang sampai 60, nengke ite paling due telu. Laguk syukur ndek tiang anterang maling no, ia mbaitang dirikne. Alhamdulillah”.
Saya terdiam sejenak mengapa kemudian ia mengukir dirinya korban pencurian itu sebagai sebuah kesyukuran. Pencuri jelas-jelas mengondol ayam yang dipeliharanya bertahun-tahun. Namun ia menemukan cara jamak-jamak menghadapi kehilangan itu. Sederhana sekali, “saya tidak perlu repot mengantarkan ayam itu”. Ungkapan tawakkal dalam bahasa yang amat sederhana. Tawakkal yang diteguhkan atas suatu keyakinan yang tiada tara bahwa barakah lima ratus telah mengantarkannya hidup selama lebih dari 20 tahunan. Ia nyatakan keyakinannya itu:
“Laguk ndekne inik puyah po manok tiang. Alhamdulillah. Ie ruene berkat kepeng lima ratus ino. Ie wah sik tiang biaya kanak niki sekolah.”
Saya pun pamit dan diantar sampai pinggir jalan. Tak jauh dari rumah itu saya membelokkan motor dan berhenti di salah satu warung dipinggir hutan yang berjualan air tuak manis (air nira/aren). Saya iseng bercerita pada anak-anak remaja yang berjualan tersebut
“Uahku aning Ustaz Zainudddin ne leq atas”
“Ustaz Zainuddin, sai aran Ustaz Zainuddin?, tanyanya sambil mengernyitkan dahi sekian detik.
Teman sebelahnya nyeletuk, “Tuak Din jage kenene ni”
“Oo Tuak Diiiin”
“Ye jage tuak Din”, saya menimpali.
“Deket balene taok balen tiang. Amak tiang taokne mbeli tanak”.
“Ia taokte pade ngaji ito lek tuak Din”, lanjut remaja di sebelahnya.
“Ie wah selapukte ngaji lek ie”, kata remaja yang satunya.
Sambil menyiapkan tuak manis, gadis hutan itu berkata:
“Ie aran manusia bergune nike pak, ie wah tulen aran manusie bergune”.
Subhanallah...Saya sedikit menyesal menawar air tuak manis itu. Saya tidak sadar anak-anak kampung itu adalah murid kawan saya yang saya segani itu. Lebih naif lagi saya tidak pernah menawar minuman berapapun harganya jika saya membelinya di toko atau kios besar.
Sepanjang jalan saya berpikir, bahwa betapa selama ini saya menyaksikan kebanggaan mereka yang mengajar di gedung-gedung sekolah dengan fasilitas lengkap. Mengajar dengan keyakinan mantap karena jaminan honor atau gaji jelas. Mengajar tanpa ragu karena jelas itu adalah perjuangan membantu pendidikan Islam. Saya pikir kemuliaan itu adalah saat dikenal sebagai seorang ustaz dengan basis pendukung yang jelas, atau menjadi tuan guru dengan surban kebesaran yang ditakuti. Itu semua menjadi luluh lantaran bertemu dengan seorang murid yang takdirnya mengisi titah gurunya; menjadi manusia jamak-jamak.
.............
“Din melemeq jari ape ante”
“Mindah ninik, nunasang tiang jari napi”
“Ngne wah Din, ante meq jari jamak-jamak wah”
“Nggih ninik tunas doa”
..............
“Ie aran manusia bergune nike pak,
ie wah tulen aran manusie bergune”.
Terima kasih gadis hutan, kami belajar dari kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar